sergap TKP – JAKARTA
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah menyebut operasi tangkap tangan (OTT) yang selama ini dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah ilegal.
Pasalnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyadapan karena dinilai telah melanggar hak asasi manusia (HAM). “Argumen saya UU ITE mengandung Pasal 31 ayat D. UU nomor 11 tahun 2008 tentang ITE mengatakan bahwa penyadapan diatur melalui PP,” ujarnya, Rabu (23/8/2017).
Ia menyebut Tifatul Sembiring selaku Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) pada waktu itu telah menyiapkan PP dan dibawa ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Begitu PP ini akan disahkan, para aktivis, KPK dan kawan-kawan ini takut, bahaya ini PP. Karena PP ini bisa menyebabkan kewenangan sadap KPK bisa tidak bebas, karena ada prosedur. Prosedurnya mau dibikin mengikat kalo dilanggar, bisa dianggap melanggar dan bisa kena hukum,” sebutnya.
Namun saat PP ini akan dibawa ke Presiden SBY, KPK telah melakukan judicial review terhadap Pasal 31 ayat D UU ITE yang lama. Yang akhirnya pada sidang MK 24 Februari 2011 lalu Pasal 31 ayat D UU ITE dibatalkan dengan pertimbangan, penyadapan adalah pelanggaran HAM dan maka dari itu tidak boleh diatur dengan ketentuan yang di bawah UU.
“Dalam pikiran saya pemerintah akan membikin Perppu, lalu Perppu tidak dibuat, maka berlandas kepada keputusan MK itu, maka tidak ada lagi dasar bagi penyadapan. Anda boleh cek tuh ke Kementerian Kominfo, nggak ada audit terhadap KPK sekarang, sampai hari ini nggak ada lagi audit, karena nggak ada dasarnya,” jelas Fahri Hamzah.
Ia juga menanyakan bagaimana sikap KPK yang tidak tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Sekarang bagaimana sikap KPK? Sikap KPK bukannya tunduk kepada KUHAP, karena ketentuan penyadapan itu ada juga di dalam KUHAP, yaitu terkait izin pengadilan,” paparnya.
Fahri Hamzah juga menuding selama ini KPK membuat standar operasional prosedur (SOP)-nya sendiri dengan Pasal yang diatur dalam UU KPK . “Padahal SOP itu dimana-mana bukan regelling, dia gak boleh mengatur hidup orang di luar, dia hanya mengatur orang di dalam. Dalam penyadapan itu, mengatur hak orang di luar. Siapa boleh disadap, kapan dia boleh disadap, apa bukti awal yang menyebabkan dia disadap dan berapa lama dia boleh disadap. Waktu ditampilkan di pengadilan, apa yang boleh ditampilkan, siapa yang ngedit dan seterusnya, oleh KPK itu tidak ada, dia bikin lah SOP,” tuding Fahri.
Fahri menambahkan hal inilah yang menjadi masalah dimana secara tiba-tiba seseorang ditangkap padahal SOpP yang dijalankan tidak boleh menurut MK. “Ini kan operasi bawah tanah semua, kayak misalnya kemaren Panitera PN Jaksel itu kapan dia disadap, terkait apa dia disadap, sampai sekarang kita nggak tau dan ini hampir 24 jam lho. KPK harus memutuskan, tapi kita nggak tau apa yang terjadi, tiba-tiba orang itu ditangkap, saya kira ini ada problem di sini yang harus diakhiri,” pungkasnya.